Entri Populer

Selasa, 09 November 2010

waktu


Dan jika engkau bertanya, bagaimanakah tentang Waktu?….
Kau ingin mengukur waktu yang tanpa ukuran dan tak terukur.
Engkau akan menyesuaikan tingkah lakumu dan bahkan mengarahkan perjalanan jiwamu menurut jam dan musim.
Suatu ketika kau ingin membuat sebatang sungai, diatas bantarannya kau akan duduk dan menyaksikan alirannya.
Namun keabadian di dalam dirimu adalah kesadaran akan kehidupan nan abadi,
Dan mengetahui bahwa kemarin hanyalah kenangan hari ini dan esok hari adalah harapan.

Dan bahwa yang bernyanyi dan merenung dari dalam jiwa, senantiasa menghuni ruang semesta yang menaburkan bintang di angkasa.

Setiap di antara kalian yang tidak merasa bahwa daya mencintainya tiada batasnya?
Dan siapa pula yang tidak merasa bahwa cinta sejati, walau tiada batas, tercakup di dalam inti dirinya, dan tiada bergerak dari pikiran cinta ke pikiran cinta, pun bukan dari tindakan kasih ke tindakan kasih yang lain?
Dan bukanlah sang waktu sebagaimana cinta, tiada terbagi dan tiada kenal ruang?Tapi jika di dalam pikiranmu haru mengukur waktu ke dalam musim, biarkanlah tiap musim merangkum semua musim yang lain,Dan biarkanlah hari ini memeluk masa silam dengan kenangan dan masa depan dengan kerinduan.

persahabatan


Dan jika berkata, berkatalah kepada aku tentang kebenaran persahabatan?..Sahabat adalah kebutuhan jiwa, yang mesti terpenuhi.
Dialah ladang hati, yang kau taburi dengan kasih dan kau panen dengan penuh rasa terima kasih.
Dan dia pulalah naungan dan pendianganmu.
Karena kau menghampirinya saat hati lapa dan mencarinya saat jiwa butuh kedamaian.Bila dia bicara, mengungkapkan pikirannya, kau tiada takut membisikkan kata “tidak” di kalbumu sendiri, pun tiada kau menyembunyikan kata “ya”.
Dan bilamana ia diam, hatimu tiada ‘kan henti mencoba merangkum bahasa hatinya; karena tanpa ungkapan kata, dalam rangkuman persahabatan, segala pikiran, hasrat, dan keinginan terlahirkan bersama dengan sukacita yang utuh, pun tiada terkirakan.
Di kala berpisah dengan sahabat, janganlah berduka cita; Karena yang paling kaukasihi dalam dirinya, mungkin lebih cemerlang dalam ketiadaannya, bagai sebuah gunung bagi seorang pendaki, nampak lebih agung daripada tanah ngarai dataran.
Dan tiada maksud lain dari persahabatan kecuali saling memperkaya ruh kejiwaan. Karena kasih yang masih menyisakan pamrih, di luar jangkauan misterinya, bukanlah kasih, tetapi sebuah jala yang ditebarkan: hanya menangkap yang tiada diharapkan.
Dan persembahkanlah yang terindah bagi sahabatmu.
Jika dia harus tahu musim surutmu, biarlah dia mengenal pula musim pasangmu.
Gerangan apa sahabat itu hingga kau senantiasa mencarinya, untuk sekadar bersama dalam membunuh waktu?
Carilah ia untuk bersama menghidupkan sang waktu!
Karena dialah yang bisa mengisi kekuranganmu, bukan mengisi kekosonganmu.
Dan dalam manisnya persahabatan, biarkanlah ada tawa ria berbagi kebahagiaan.
Karena dalam titik-titik kecil embun pagi, hati manusia menemukan fajar jati dan gairah segar kehidupan.

Selasa, 02 November 2010

kicau murai di pagi hari....


Kicau Murai Pagi Hari

Di sebuah tempat. Beberapa orang di sebuah taman.

Orang I : Ada tujuh bentangan hari yang diberikan kepada manusia oleh Al Khalik – yang menjadi citra dari penciptaan jagad – agar bisa bertemu dengan kesempatan untuk menemui Cahaya Keagungan.

Orang II : Ada seribu jalan yang ditempuh menuju ke sana, dan banyak yang justru tak berjumpa dengan Sang Cahaya

Orang I : Dia datang ke jantung bumi di saat orang-orang memejamkan mata, membuaikan diri ke dalam kenyamanan. Hanya sedikit yang terjaga dengan pelita tergenggam erat, tetap menanti dengan jantung berdegub. Kitab-kitab suci bahkan telah mengisyaratkan kedatanganNya sejak berabad-abad sebelumnya.

Orang II : Ia, Cahaya itu, ada. Melintasi lekukan-lekukan waktu, merunuti jengkal-jengkal peristiwa. Ia ada. Menyerahkan diri, dengan rela, dan terbantai. Cahaya Yang Maha Besar itu lalu pecah berhamburan, bertaburan. Seumpama roti yang harus dipecah, agar semua orang mendapatkannya, menelan dan melekatkannya di jiwa.

Orang I, II, III, & IV : (duduk melingkari Miryam yang memikul sebuah bola)

Tak…tik…tak…tik…tak…tik…tak…tik…tak…tik…tak…tik…tak…tik…!

Marta : Kisah manusia seumpama weker yang pekak, mengingatkan dan menyimpulkan kehidupan untuk terus maju mewarnai abad, masa, tahun, bulan, minggu, hari, jam, menit, lalu detik.

Aku senantiasa menatap dari jendela kamarku ada senja di pucuk-pucuk cemara, ada juga butir-butir embun pada sejumput harapan di pagi hari yang meronakan kisah, yang masih panjang, belum berujung, belum tersingkap.

Kasim…! Kasim…! Kasim…!
Ceritakan padaku mengapa harus ada yang luka karena cinta yang tulus ?

Kasim : (masuk tergopoh-gopoh)

Nona…Nona Marta…bukankah kekuatan cinta terletak pada apinya ?

Marta : Benar bahwa aku terbakar karena cinta, tetapi aku lalu jadi debu yang ditaburkan orang, bermakna salah.

Kasim : Apa yang hangus, jadi debu, jangan disesali, Nona. Bukankah konsekuensi dari terbakar oleh api cinta menyangkut hal-hal itu juga, Nona Marta yang baik ?

Lupakah tentang aku, yang mau atau tidak mau, harus merelakan hak-hak diriku terbantai tanpa berkesempatan menentukan pilihan ? Sejarah bahkan kitab suci menuliskan mengenai sebutan golongan kami adalah kaum sida-sida, aku laki-laki normal sebelumnya.

Marta : Aku tidak menanyakan hal-hal itu, Kasim.

(melangkah menjauh)


Orang III : Apa yang ingin dititip senja jika bulan tak lagi mau berbagi cerita tentang keindahan cahaya keemasannya kala gelap membungkus sebagian jagad. Atau barangkali cakrawala, sebuah ruang yang maha luas, tak ingin lagi memberi pelajaran rutin kepada segenap makhluk bahwa di tingginya langit masih ada langit.

Orang IV : Lalu tentang gemulai daun, basah dalam kabut atau tentang kicau burung-burung Murai yang sering merindukan pucuk-pucuk bunga, ia yang senantiasa menziarahi gairah hidup untuk maju.

Aku kehilangan keceriaan karena pagi tidak menghadirkan kicau-kicau yang biasa menyapa hari-hariku.

Orang I : Tentang matahari ? Tahukah kau tentang matahari ?

Orang III : Dalam kajian ilmiah merupakan sebuah bola gas panas raksasa terletak 150 juta kilometer dari bumi. Suhu di pusatnya melebihi 16 juta derajat celcius. Sebuah energi yang maha dasyat.

Orang IV : Ia energi panas dan cahaya yang membuat pendaran-pendaran sinar melalui proses fusi nuklir. Berusia kira-kira 5.000 juta tahun. Lalu dalam usia kira-kira 5.000 juta tahun itu matahari akan menjadi sangat terang sehingga tidak ada apapun yang dapat hidup di permukaan bumi ini.

Orang I : Inilah petaka kiamat…!

Orang II : Lalu bagaimana tentang Tuhan ?

Orang I : Inilah petaka kiamat…!

Orang II : Bagaimana tentang Tuhan ?

Orang III : Saat penantian yang membuat kegentaran maha menakutkan.

Orang II : Lalu bagaimana tentang Tuhan ?

Orang I : Inilah petaka kiamat…!

Orang II : Lalu bagaimana tentang Tuhan ?

Orang IV : Waktu malaikat datang berselubungkan awan dan pelangi, memeteraikan tujuh gemuruh guruh yang bersahut sahutan.

Orang I : Inilah petaka kiamat…!
Kala malaikat mengancungkan tangan ke langit dan berkata “Tidak ada penundaan lagi…!”

Inilah petaka kiamat…!

Orang III : Bila waktu itu kian pasti

Orang II : (marah)

Lalu bagaimana tentang Tuhan ? Katakan…!

Orang IV : Mengapa kita harus berada di kubangan ?

Miryam : Tubuh yang terbantai pada salib dina.

Anak domba yang bercucuran darah.

Jesua…
Jesua…
Jesua…

(bernyanyi lagi dengan kesenduan dan kesedihan yang kian menggarang)

Jesua…
Jesua…
Jesua…

Beban ini, mestinya aku tidak memikulnya.

Orang I, II, III, & IV : Maka hancurkan bebannya !

Miryam : (menghancurkan beban yang dipikulnya)

Jesua : (masuk dengan lentera dan cawan di tangannya)

Marta…! Apa yang meski jadi sesal demi hikmah kebenaran ?

Datanglah padaKU yang haus dan lapar.
Minumlah darahKu…
Makanlah tubuhKu…
Maka kau akan bertemu AKU…!


(semua orang mendekati Jesua, meminum dan memakan apa yang bisa dimakan, hingga Jesua habis dalam lapar dan dahaga mereka. Sesuai itu, mereka lalu mengambil lentera dan pergi ke entah dengan perasaan bahagia sambil menyeret sisa lahapan; Jesua.)

mimpi dari sebuah jendela waktu | naskah drama yang dimainkan oleh 8 orang

Mimpi dari Sebuah Jendela Waktu | Naskah Drama yang Dimainkan Oleh 8 Orang

Naskah drama atau teater ini berjudul MIMPI DARI SEBUAH JENDELA WAKTU, merupakan naskah drama/teater rohani yang dimainkan oleh 8 orang atau lebih. Naskah yang ditulis oleh IE HADI G ini merupakan naskah yang secara sengaja disediakan cuma-cuma demi memenuhi kebutuhan naskah yang sangat tinggi mengingat tingkat pertunjukan drama/teater rohani semakin intens dilakukan.

BABAK I :
Pada sebuah tempat seorang seniman. Ruangan remang bahkan gelap.


[suara orang menyanyi]

Kisah manusia selalu bergerak
Tak pernah diam mengikuti waktu
Kisah manusia selalu bertanya
Terus mencari jika belum bertemu

Mencari kebenaran sekalipun masih fatamorgana
Mengais dalam doa sekalipun terus ada air mata

[suara sesuatu yang ditabuh]

Seorang sosok, Zero, duduk di sebuah kursi.

ZERO :
Banyak tanda-tanda yang terjadi memberitahukan kejadian yang akan datang tapi kebanyakan manusia sering menganggap remeh. Dahulu sebuah bintang berjalan dan berhenti persis di atas sebuah kandang, di sebuah desa. Sebuah petunjuk yang memberitahukan kedatangan seseorang yang kelak akan mematahkan kuk-kuk dosa dunia. Tapi sedikit orang yang mengerti. Hanya tiga orang mengikuti tanda itu. Mereka masing-masing membawa hasil terbaik dari negri mereka. Persembahan yang hanya sepatutnya dipersembahkan bagi seorang raja. Saat kuk-kuk dosa telah dipatahkan, gempa yang sangat besar terjadi. Tanah retak. Bumi bergoncang. Baru orang memahami tanda, seorang yang hidup di antara mereka itu ternyata adalah Mesias.
Alam tidak pernah berhenti memberikan tanda-tanda tentang kejadian yang akan datang. Gumpalan awan yang datang berarak, memberitahukan bahwa hari akan hujan. Itu hanya logika tanda alam sederhana. Seseorang yang pernah datang dengan tanda satu bintang yang berjalan itu akan datang lagi dengan lebih banyak tanda. Bintang-bintang, dan bukan cuma satu bintang, akan berjatuhan dari angkasa. Usia bumi akan berakhir. Kehidupan akan selesai. Kitab-kitab telah menuliskannya. Juga tentang gempa yang kelak akan terjadi, berulang-ulang. Bukankah gempa makin sering terjadi di bumi ini?
[bangkit, mengamati satu per satu isi ruangan tersebut dan keluar]



BABAK II :
Mikha masuk, menyalakan lampu yang menerangi kanvas. dengan serius memandangi sebuah kanvas dengan lukisan yang belum selesai dilukis. Baru beberapa paduan warna dengan goresan-goresan yang tampak tidak bermakna. Kika dan Keke tidur pada sebuah meja, tertutup kain sehingga terlihat seperti patung.

WASTIKA :
[duduk sambil menyulam sesuatu]
Zefa…Zefa…Zefa….! Di mana kau?
[jengkel]

Zefa masuk dengan langkah perlahan sambil menarik sebuah rantai. Sekujur tubuhnya kusam dan kotor.

WASTIKA :
[duduk sambil menyulam sesuatu]
Zefa, lama-lama aku bosan dengan tingkah lakumu yang makin menjengkelkan itu. Hari-hariku menjadi sangat gersang. Kau hanya peduli pada dirimu sendiri. Lihat dirimu. Kau makin larut saja ke dalam hal-hal semu.

ZEFA :
Entah mengapa mimpi-mimpi itu terus datang. Hingga malam-malamku terus dipenuhi mimpi aneh.

WASTIKA :
Cukup, Zefa. Aku tidak peduli mimpi apa yang selalu datang padamu. Kau malahan tidak pernah lagi memberikan perhatian padaku.

ZEFA :
Tolong aku, Wastika.

WASTIKA :
Tolong apa?

ZEFA :
Rantai aku. Rantai aku, Wastika. Rantai aku.

WASTIKA :
Gila…kau telah gila. Kau telah gila, Zefa. Hiduplah kau dengan kegilaanmu itu. Aku tidak akan peduli.
[bangkit dan pergi]
Dia telah gila.

ZEFA :
[duduk dan merantai tubuhnya]
Dia…dia tidak akan pernah mengerti mengapa akhirnya kuputuskan untuk merantai tubuhku seperti ini. Dia tak pernah mengerti. Wastika yang malang. Telah panjang dan berliku jalan yang kulalui untuk mencarinya. Dia bukan Wastika. Dia adalah sebuah mimpi yang ingin kutemui. Entah ke mana dia. Entah ke mana lagi harus kutemukan dia. Sudah kutanya pada angin, ke mana kira-kira aku harus mencarinya. Angin menjawab tak tahu. Pada matahari sudah juga kutanyakan hal yang sama, dia diam, terbenam dan bersinar lagi, tapi tak menjawab apa-apa. Ke laut, ke semua, kutanyakan hal itu tapi tak ada yang mampu memberitahukan jawabannya. Kurantai tubuhku akhirnya, untuk menahan gejolak hati. Kusiksa tubuhku seperti ini, seperti jalan yang ditempuh kebanyakan orang bijak, menyiksa diri sendiri untuk mencapai keinginan dan tujuan spiritual. Aku ingin bertemu Dia. Sungguh, aku sangat ingin bertemu Dia.

MIKHA :
Dia? Siapa?

ZEFA :
Dia bukan Wastika.

MIKHA :
Aku tidak bertanya apakah dia itu Wastika atau bukan. Dia yang sementara kau bicarakan itu siapa? Dan untuk apa kau ingin menemuinya, sampai-sampai kau terlihat seperti orang gila seperti ini?

ZEFA :
Dia yang ditunggu sejak berabad-abad sebelumnya. Dia penunggang kuda putih, yang berjalan dalam angin, berjubah putih. Jika waktuNya telah tiba untuk datang menemui umat manusia, tanganNya menggenggam pedang yang berkilat-kilatan.
[diam sebentar]

MIKHA :
[mengerut, bingung]
Imajinasi yang hebat dari seorang penghayal.

ZEFA :
Aku senantiasa bertemu dengannya dalam mimpi. Mari, jumpai aku, katanya. Semalam dia kembali datang dalam mimpi. Pada malam berkabut di sebuah negeri yang tak kukenal, dia, anak manusia itu, keluar dari sebuah sungai. Lalu tiba-tiba langit terkoyak dengan dasyatnya, aku menjadi takut melihat apapun. Dari antara sela-sela jari, kulihat sesuatu turun dari langit. Aku makin gemetaran. Tak ingin lagi melihat apapun karena takut. Dalam mimpi itu, aku tersungkur ke tanah karena tubuhku jadi lemas dan ketakutan menyaksikan Anak Manusia itu tiba-tiba bercahaya.

MIKHA :
Manusia yang bercahaya ? Urusan mimpi saja bikin repot. Zefa, kau manusia yang paling aneh di jagad ini. Di jalanan sana banyak yang mengalami gangguan kejiwaan seperti kau. Mimpi dihasilkan oleh dunia bawah sadar kita; yang merupakan tempat menyimpanan atau memori dari kejadian-kejadian sehari-hari, angan-angan, obsesi-obsesi, dan lain-lain dari alam sadar kita. Angan-angan hari kemarin yang belum terwujud dan tentu saja sangat berlebihan akan menghasilkan penyimpangan jiwa. Itu sementara kau alami. Lihat dirimu. Bila penampilan manusia seperti caramu sekarang ini pasti semua orang yang melihat keanehan ini punya kesimpulan yang sama, kau gila.

ZEFA :
Kau tidak paham makna mimpi ini. Tapi bagi diriku, perasaan, dan harapanku sangat penting. Aku ingin membangun imanku dan spiritualitasku melalui pencarianku atas petunjuk yang diperoleh melalui mimpi ini. Aku ingin bertemu denganNya.

MIKHA :
Terus, apa hubungan makna mimpi, tujuan spiritual, dengan kegilaanmu itu? Jelaskan apa maksud rantai yang melilit tubuhmu itu?

ZEFA :
Agama samawi, agama-agama pagan, bahkan semua kepercayaan di dunia ini menggunakan pemahaman yang sama. Menyiksa diri demi untuk mencapai tujuan spiritual. Menahan lapar dan haus dengan berpuasa hakikatnya sama dengan rantai ini, hanya caranya yang berbeda. Kami sama-sama ingin berdialog dengan Tuhan. Dan rantai ini merupakan bagian dari imanku.

MIKHA :
Berdialog dengan Tuhan ? Zefa, kau makin gila saja. Kau pikir dirimu itu adalah nabi zaman dahulu yang bisa berdialog dengan Tuhan. Betul-betul kau telah gila.

Zefa diam, berjalan, memperhatikan sejenak sesuatu yang tertutup kain, lalu membukanya. Kika dan Keke, laki-laki dan perempuan itu, asyik tertidur pada sebuah meja.

MIKHA :
Jangan ganggu mereka.

Kika dan Keke terbangun, terkejut dan ketakutan.

MIKHA :
Aku sudah bilang, jangan ganggu mereka.

ZEFA :
Maaf, aku tidak tahu kalau sesuatu yang tertutup itu mereka berdua. aku pikir itu patung, karyamu terbaru. Atau juga barangkali adalah apa yang aku cari-cari. Tadi suaramu yang keras itu membangunkan mereka.

MIKHA :
Kaulah yang membangunkan mereka, bukan aku. Mereka seharusnya tetap tertidur sepanjang hari. Menikmati mimpi-mimpi terbaru hari ini. Kau malah mengusik tidur mereka. Mimpi-mimpi mereka akhirnya jadi lenyap. Mereka punya mimpi yang sama mustahilnya denganmu. Mereka berdua adalah model dari lukisanku yang baru saja dimulai. Mimpi mereka adalah menjadi terkenal, lebih dari lukisannya. Sekalipun model dari lukisan Monalisa karya maestro Davinci tidak lagi dibicarakan dari masa ke masa tetapi mereka ingin yang sebaliknya. Dan mereka sama denganmu, gila…!

ZEFA :
Maaf, sekali lagi maaf. Aku lebih baik pergi saja.
[ketakutan, dan keluar]

MIKHA :
Iya. Pergilah…! Kau manusia aneh dan gila. Enyahlah dari sini…!
[marah]
Tune masuk, bertabrakan dengan Zefa yang hendak pergi. Kemudian duduk dekat Mikha.

TUNE :
Kenapa dia?

MIKHA :
Orang gila…! Kau kan tahu bahwa manusia yang berpenampilan aneh hanyalah orang gila.

TUNE :
Dia itu Zefa kan? Kenapa dia? Apa dia sedang latihan akting, atau?

MIKHA :
Dia mendapat mimpi, lalu sibuk ingin bertemu dengan Tuhan.

KIKA :
Iya, Bos. Betul, Bos. Dia tidak ingin lagi jadi seniman, Bos. Karena yang ada di kepalanya hanya sebuah tujuan yang konyol, yaitu membangun iman dan tujuan spiritual.

KEKE :
Benar sekali, Bos. Padahal menekuni dunia seni seperti yang sementara aku jalani sekarang ini memiliki tujuan spiritual yang sama dengan jalan yang dia tempuh sekarang ini. Nyatanya dia orang yang sangat tidak berbakat jadi seniman.

KIKA :
Tepat sekali, Bos. Padahal untuk bisa membangun iman dan tujuan yang aneh itu dia seharusnya tetap menjadi seniman. Karena dunia senilah yang sebagai salah satu hal yang bisa memberikan dasar-dasar kepekaan spiritual. Dahulu kan para nabi itu adalah seniman juga.

TUNE :
Cukup! Kenapa tempat ini makin dipenuhi orang-orang aneh? Lama-lama orang banyak mengenal tempat yang aku bangun dengan susah payah ini sebagai tempatnya orang-orang gila, bukan tempatnya para seniman lagi.
[mengangguk, lau tersenyum]
Mikha, kau ingat dulu saat rambutmu panjangnya masih sepinggang?

MIKHA :
Ya. Kenapa?

TUNE :
Saat aku mengatakan bahwa kau gila karena rambutmu panjang, Sedangkan kau ini laki-laki. Lalu apa yang kau katakan waktu itu? Kau ingat?

MIKHA :
[menggeleng]
Tidak.
TUNE :
Kau bilang padaku bahwa yang berambut panjang di dunia hanya ada tiga golongan waras. Yang pertama adalah golongan petapa, kedua golongan mahasiswa, dan terakhir adalah golongan seniman. Katamu kalau bukan ketiganya berarti orang gila. Padahal waktu itu kau bukan ketiganya.

MIKHA :
[mendorong Tune]
Ah, kau hanya mengganggu saja.

KIKA :
Keke…Keke….Keke…!

KEKE :
Ada apa ?

KIKA :
Abaikan cerita mereka, sayang. Lebih baik kita membicarakan hal-hal yang lebih bermanfaat.

KEKE :
Seperti apa ?

KIKA :
Seperti membayangkan sesuatu yang nantinya akan kita capai saat kita telah menjadi orang terkenal.

KEKE :
Seperti membayangkangkan bagaimana jika potret wajah-wajah kita yang terpampang di dinding kota, apa kira-kira yang akan dikatakan banyak orang? Apa kata dunia?

KIKA :
Uhhhh…pasti dengan percaya diri kusampaikan secara terus terang bahwa aku jadi pusat perhatian dunia. Ke manapun aku berjalan, orang-orang berkamera mengejarku, memotret pose-pose terhebat dari gerak-gerakku. Lalu serbuan dari para penggemarku dengan spidol di tangan mereka seraya meminta tanda tanganku pada setiap punggung, pinggang, dan dada mereka. Penggemarku adalah gadis-gadis cantik yang tentu saja dari segi apapun juga mereka lebih cantik dari kau.

KEKE :
Mimpi…..itu mimpi….dan omong kosong. Karena hal itu cuma akan terjadi pada diriku.
[tersenyum membayangkan kejadian tersebut]

KIKA :
Heh…kau ini menghayalkan dirimu sendiri atau kita bersama?

KEKE :
Kau ?

KIKA :
Sendiri !

KEKE :
Aku juga, dong! Masakan enak di kamu tidak enak di aku. Lagian yang pantas mendapatkan hal itu kan aku bukan kamu.
[berdiri dan berlenggok seperti peragawati]
Kau lihat kan letak kepantasannya, temanku? Aku ini perempuan dengan seribu bakat yang akan dilirik dan siap diorbitkan sebagai artis multi talenta. Poster-posterku akan memenuhi sudut-sudut jalan Hollywood sebagai artis pendatang baru yang paling berbakat pada abad ini.

KIKA :
Tumpul….! Goblok…! Matamu sudah buta apa? Paling berbakat abad ini…??!
[mengejek]

KEKE :
Oh, temanku yang pikirannya sempit, seharusnya kau bersyukur bila hal ini menjadi kenyataan, karena setiap kali aku pulang kampung pasti kau yang akan aku cari sebagai seorang teman dari selebriti terkenal. Bukankah itu sebuah kehormatan? Bagaimana?

KIKA :
Benar juga…luar biasa….cahaya cemerlang telah terbit dan melingkar di kepalamu seperti gambaran dari para Santo. Tetapi jika kau mengingkari hal ini, maka aku akan mencampakkan tubuhmu yang sangat tidak molek itu di antara duri-duri pohon salak. Kulempari tubuhmu dengan telur busuk. Lalu poster-postermu kurobek-robek dan kubakar….

Terdengar suara orang yang mengerang dan minta tolong.

TUNE :
[berteriak]
Diam…! Dengar…ada suara orang yang minta tolong.

KIKA dan KEKE :
[terkejut]
Bos…??? Ada apa, Bos?

Suara orang yang mengerang dan minta tolong makin dekat.

TUNE :
[membentak]
Diam…! Aku bilang, diam.

Zora masuk menarik Zefa. Semua orang di dalam ruangan ketakutan.

ZORA :
[terengah-engah]
Di mana Dia ? Di mana Dia ? Kenapa Dia tidak ada di sini ? Ayo, tunjukkan padaku.

ZEFA :
[merintih kesakitan]
Benar…Dia akan datang…sedikit lagi, Dia akan datang…! Tolong lepaskan aku…!

TUNE :
Ada apa? Kenapa dia?

ZORA :
Mana mungkin kalian tidak tahu?

KEKE :
Mana kami tahu…? Iya kan, Kika…?

KIKA :
[mengangguk]
He’….eee….!
ZORA :
Dia mengaku kepada banyak orang bahwa kutu busuk ini telah bertemu Tuhan. Dia menakut-nakuti anak-anak kecil dan mengatakan bahwa Tuhan akan datang. Juga di jalan-jalan raya; di tempat-tempat umum; di mana saja; dia berteriak-teriak seperti orang gila dan mengatakan bahwa Tuhan akan segera datang, bersiaplah sebelum hari mulai malam.

ZEFA :
[kesakitan]
Sungguh. Ini benar. Dia akan datang. Sedikit lagi, dia akan datang…! Bukalah pintu hatimu, bila Dia datang mengetuk.

ZORA :
Kau pembohong!
[menendang Zefa]

MIKHA :
Dia mati…kau telah membunuhnya.

KIKA :
[sedih]
Kasihan dia…dia orang yang tidak bersalah.

Orang ketakutan, memperhatikan tubuh Zefa, sejenak kemudian diangkat dan dibaringkan di meja. Wastika masuk. Orang-orang makin ketakutan.

WASTIKA :
Siapa yang membunuhnya? Zefa…Zefaku…! Siapa yang membunuhnya? Siapa yang telah membunuhnya?

Semua orang menunjuk ke arah Zora. Zora ketakutan.

WASTIKA :
Kau bajingan…! Kau pikir kau siapa ? Kau tidak punya hak apa-apa untuk mengambil nyawanya.
[geram, lalu menjambak Zora. Kemudian memeluk tubuh Zefa sambil menangis]

Tubuh Zefa berguncang. Zero masuk memegang lilin. Orang-orang semakin ketakutan.

ZERO :
Aku bukanlah orang yang kalian tunggu. Bukan siapa-siapa. Bukan sebuah jejak apapun yang berusaha ditinggalkan oleh masa lampau. Aku bukan Dia. Aku hanyalah orang biasa, yang berusaha mengerti tanda-tanda alam. Zefa telah mati sahid karena imannya yang menyiarkan tentang kebenaran bahwa dia akan segera datang. Dia akan datang di tengah-tengah kita seperti pencuri. Tak ada seorangpun yang tahu waktunya. Temuilah Dia. Setiap orang harus menemui sebelum waktu kedatangannya.

TUNE :
[ketakutan]
Hei, biasa saja…bicara biasa saja. Tidak perlu kau mendramatisir sesuatu menjadi terkesan sangat rumit dengan makna yang makin kabur pula. Bicara langsung pada intinya. Jangan lagi merekayasa makna. Ini ada apa? Siapa?
Kalau ada yang mau datang mencuri, kita lapor ke polisi saja kalau begitu.

MIKHA :
Ssssstttt…..diam, Bos…….! Kau tidak tahu siapa yang sedang dibicarakan.

ZERO :
Pengantin itu akan segera datang…! Waktunya sedikit lagi….tidak lama lagi. Nyalakan lilinnya agar saat Dia datang, kita sedang memegang lilin.
[menyalakan dan membagi lilin satu per satu kepada semua orang]

TUNE :
Lalu apa yang harus kami perbuat?

ZERO :
Pergilah…peganglah iman dan temukanlah jalan itu…..ya, seharusnya kita menemukan jalan itu agar kita bisa berjumpa dengannya. Dia tengah mencari dan menunggu kita. Bergegaslah…!

Orang-orang pergi, tertinggal Zero dan tubuh Zefa yang tergeletak di atas meja.

ZERO :
[memperhatikan lukisan Mikha, mengambilnya, dan mendekati Zefa. Kemudian duduk di kursi]
Zefa hanya mengatakan kebenaran yang dia terima melalui mimpi. Kebenaran-kebenaran yang sama telah dilakukan banyak nabi-nabi dan rasul-rasul. Banyak dari antara para penyiar kebenaran itu mati dalam iman mereka.
[diam sejenak]
Kalian kelak akan mengerti. Pada kaki langit yang terlukis dengan warna yang mempesona, pada sebuah purnama yang indah, buku itu dibuka, dan nama kita tertulis di dalamnya.

jalan-jalan sunyi | Naskah drama drama yang dimainkan 7 orang

m Pate-pate●Pakatiti Tuhema, Pakandu Mangena, Boleng Balang Sengkahindo●
Blog ini
Di-link Dari Sini
Daftar Blog Saya
Blog ini
 
 
 
 




Minggu, 10 Oktober 2010

Jalan-jalan Sunyi | Naskah Drama Drama yang Dimainkan 7 Orang

Naskah drama atau teater ini berjudul JALAN-JALAN SUNYI, merupakan naskah drama/teater rohani yang dimainkan oleh 7 orang atau lebih. Naskah ini ditulis oleh IE HADI G dan merupakan naskah yang secara sengaja disediakan cuma-cuma demi memenuhi kebutuhan naskah yang sangat tinggi mengingat tingkat pertunjukan drama/teater rohani semakin intens dilakukan.

Karakter:
Orang I
Orang II
Orang III
Orang IV
Orang V
Orang VI
Alkemis
Batsyeba
Magdalena
Pilatus
Barnabas


PLAY:

Sebuah tempat. Beberapa orang dalam diam. Ada yang memikul dan memegang wadah, juga ada yang memanggul potongan bambu. Bulan merah kala itu.

Alkemis :
[masuk memegang obor]
“Siapa yang selalu melewati jalan sunyi? Jalan di mana roh manusia masih senantiasa dihinggapi oleh Roh Keabadian dan lalu saling menyapa”.
[mendekati Orang I]
“Apa yang ada di tanganmu?”

Orang I :
“Debu. Hanya debu dari dosa peradaban”

Alkemis :
[mendekati Orang II]
“Apa yang ada pada kepalamu?”

Orang II :
“Darah. Hanya darah dari pertikaian bumi”

Alkemis :
[mendekati orang memanggul potongan bambu]

Orang VI :
“Ini adalah sekedar gulungan kisah. Kisah dari masa yang jauh dan telah berlalu. Kisah yang hanya untuk bercermin bila kita ingin bercermin”.

Alkemis :
“Dosa peradaban. Darah pertikaian. Dan potongan kisah. Kepada siapa harus kalian berikan?”

Orang III :
“Kepada waktu. Kepada waktu yang bergerak serta terus meringsek menuju pada penghabisannya. Dunia telah penuh penderitaan dan penyesatan. Namun tak ada yang mau meluruskannya”.

Alkemis :
“Penderitaan dan penyesatan. Yang bisa meluruskannya hanya diri sendiri. Menempuh jalan yang menghidupkan nafas roh kita”.
[menabuh tabuhan]

Orang II :
“Tentang apakah dentum-dentum itu?”

Orang V :
“Hanya tentang kisah bulan!”

Orang II :
“Atau tentang daun-daun resah?”

Orang V :
“Tentang episode-episode yang baru saja mati!”

Orang II :
“Atau tentang batu-batu bisu?”
Orang V :
“Tidak. Ini tentang kisah-kisah airmata!”

Orang II :
“Ataukah tentang…”

Orang V :
“Jangan mengejar makna jika kau tak paham kisah bulan. Ini tentang lembaran kisah airmata bulan yang baru saja berakhir dan dibaca. Dari ujung mana harus diurai kekusutannya jangan kau tanyakan jika tak mengerti jawabannya.

Orang III :
“Semua pengetahuan pada akhirnya ditujukan untuk manusia. Membuka jalan dan memberi tahu cara-cara untuk memerdekakan hidup. Hidup hanya semata bunga alang-alang, diterbangkan angin, di udara, jatuh ke tanah, lalu mati. Sehingga perlu manusia memiliki pengetahuan baik dan buruk, sebagai senjata, sebagai modal menjalani hidup. Lalu, kemudian, pilihan untuk memilih senjata, tergantung pada siapa yang berpengetahuan itu akan menggenggam apa. Perjuangan kemanusiaan menjadikan manusia menjadi kisah yang agung”.

Orang V :
“Buka kembali lembaran kisah itu. Biarkan setiap orang bercermin, lalu menjadi kisah itu sendiri”.

Orang III :
“Siapa yang melukiskan tinta-tinta kesedihan pada dinding malam? Siapa yang menulis takdir dari penderitaan?”

Orang V :
“Takdir manusia adalah untuk melawan takdir. Bila bumi adalah gambaran surga, mari melawan takdir penderitaan. Buka gulungan itu!”

Orang I :
“Pernahkah kau dengar sungai bernyanyi?”

Orang V :
“Buka gulungan itu!”

Orang III :
“Pernahkah kau dengar samudera raya membahanakan melodi-melodi terindah?

Orang V :
“Buka gulungan itu!”

Orang IV dan Orang VI :
“Alkemis, sebutkan sepata kata…!”

Alkemis :
“Hidupkan kisah itu sekarang!”
[menyalakan api]

Alkemis menabuh tabuhan. Orang IV dan Orang VI membuka gulungan kisah itu, dan setiap orang menjadi kisah itu sendiri.

Barabas :
“Tetapkan penghapusan dosaku!”

Pilatus :
[membakar lembar-lembar dosa]
“Dosamu sudah terhapus…dosamu sudah terhapus…dosamu sudah terhapus…!

Batsyeba :
“Dari keturunankulah yang telah ditakdirkan untuk memeluk takdir itu. Takdir penghapusan dosa manusia. Takdir yang memisahkan manusia dari dunianya. Takdirnya adalah membawa pedang, bukan damai. Pedang yang memisahkan anak laki-laki dari ayahnya, anak perempuan dari ibunya, menantu perempuan dari ibu mertuanya, dan musuh orang ialah orang-orang seisi rumahnya”.

Magdalena :
“Pedang bagi yang mencintai apapun lebih dari Dia. Aku mencintaiNya dengan cinta yang tak pernah kuberikan sebelumnya kepada siapapun juga. Dia, adalah anak yang dititipkan ke dalam rahim seorang perawan. Dialah anak yang dikandung dalam kesusahan. Maria, menanggung ketakutan dari tuduhan berbuat aib. Maria, menanggung ketakutan dari rajaman dan tebasan pedang. Maria, perempuan yang mulia karena dia dihibur oleh para malaikat saat kesedihan datang merundung. Maria…”.
[menyanyikan lagu Ave Maria]

Pilatus :
“Aku tak lagi bersalah pada orang itu. Aku berusaha melepaskanNya dari jeratan tuduhan yang tidak berdasar. Procla juga menasehatiku katanya: Jangan engkau mencampuri perkara orang benar itu, sebab karena Dia aku sangat menderita dalam mimpi tadi malam”.

Alkemis :
“Kisah ini telah ditulis jauh sebelum kau berusaha melepaskan Sang Alkimia! Kau hanyalah salah satu tokoh dalam tragedi ini. Itulah tragedi penyelamatan manusia. Barabas, kau juga hanya salah satu tokoh. Namun kisahmu lebih panjang. Seseorang telah merekayasa dan mengaku bahwa dirimulah yang telah menuliskan sebuah kitab. Kitab Barabas. Kitab kebohongan itu”.

Batsyeba :
“Misteri Ilahi. Alkemis, itulah misteri Ilahi dan kita sama-sama sebagai tokoh dari lakon Ilahi itu. Aku istri Uria yang dirampas oleh Daud. Tetapi ternyata dari rahimkulah generasi itu lahir. Juga tentang Barabas, dia masih semata nama tokoh dari penyesatan di akhir zaman yang telah dituliskan oleh para alkemis-alkemis lainnya. Karena sebuah sisi, sisi gelap, akan terus mengintai sampai kita tak lagi ingin jadi manusia.

Alkemis :
“Tutuplah gulungan itu, telah cukup. Mari kita kembali kepada peran kita yang sebenarnya, peran sebagai manusia. Mari mengarah ke Tuhan. Tinggalkan dunia lama. Sekarang menuju ke kehidupan roh yang baru. Penyesatan akan terus berjalan di muka bumi ini. Wahyu yang dituliskan di dalam kitab-kitab suci itu adalah nyata.”

Alkemis kembali menabuh tabuhan. Orang IV dan Orang VI mengangkat kembali gulungan kisah itu, dan setiap orang tidak lagi menjadi kisah sebelumnya.

Orang I :
“Aku mendapati sepinya hatiku pada daun-daun jatuh. Selamat berpisah. Aku mendapati malam menggigil bersama jantungku. Temuilah fatamorgana. Aku tak mendapati apa yang bisa kutaburkan dalam redup ceriaku. Hempaskan senyummu. Tebas kenanganku. Aku kini mau hidup tuk bertemu hari esok, karena debu peradaban bukanlah apa seharusnya kita genggam. Manusia lama adalah sebatas kenangan. Aku ingin jadi manusia yang baru”.

Orang II :
“Darah pertikaian bukanlah jalan. Mari genggam iman sebagai senjata bagi jiwa kita. Tinggalkan kisah lama”.

[Orang I dan II menumpahkan isi wadah yang ada pada mereka]

Orang-orang bergerak mendekati Alkemis.

Orang I, Orang II, Orang III, dan Orang V :
“Bertobat…!”

Alkemis :
[membaca mantra terus menerus sambil menabuh tabuhan]
“Angin membuka pintu. Pintu membuka roh. Roh membuka kehidupan”

Orang IV dan Orang VI membungkus semua orang dengan gulungan kisah. Orang-orang bergerak sesuai dentuman irama yang ditabuh Alkemis dan terbungkus bersama ke dalam gulungan kisah itu.

Alkemis :
“Dan kita menjadi kisah yang baru”