Mimpi dari Sebuah Jendela Waktu | Naskah Drama yang Dimainkan Oleh 8 Orang
Naskah drama atau teater ini berjudul MIMPI DARI SEBUAH JENDELA WAKTU, merupakan naskah drama/teater rohani yang dimainkan oleh 8 orang atau lebih. Naskah yang ditulis oleh IE HADI G ini merupakan naskah yang secara sengaja disediakan cuma-cuma demi memenuhi kebutuhan naskah yang sangat tinggi mengingat tingkat pertunjukan drama/teater rohani semakin intens dilakukan.
BABAK I :
Pada sebuah tempat seorang seniman. Ruangan remang bahkan gelap.
[suara orang menyanyi]
Kisah manusia selalu bergerak
Tak pernah diam mengikuti waktu
Kisah manusia selalu bertanya
Terus mencari jika belum bertemu
Mencari kebenaran sekalipun masih fatamorgana
Mengais dalam doa sekalipun terus ada air mata
[suara sesuatu yang ditabuh]
Seorang sosok, Zero, duduk di sebuah kursi.
ZERO :
Banyak tanda-tanda yang terjadi memberitahukan kejadian yang akan datang tapi kebanyakan manusia sering menganggap remeh. Dahulu sebuah bintang berjalan dan berhenti persis di atas sebuah kandang, di sebuah desa. Sebuah petunjuk yang memberitahukan kedatangan seseorang yang kelak akan mematahkan kuk-kuk dosa dunia. Tapi sedikit orang yang mengerti. Hanya tiga orang mengikuti tanda itu. Mereka masing-masing membawa hasil terbaik dari negri mereka. Persembahan yang hanya sepatutnya dipersembahkan bagi seorang raja. Saat kuk-kuk dosa telah dipatahkan, gempa yang sangat besar terjadi. Tanah retak. Bumi bergoncang. Baru orang memahami tanda, seorang yang hidup di antara mereka itu ternyata adalah Mesias.
Alam tidak pernah berhenti memberikan tanda-tanda tentang kejadian yang akan datang. Gumpalan awan yang datang berarak, memberitahukan bahwa hari akan hujan. Itu hanya logika tanda alam sederhana. Seseorang yang pernah datang dengan tanda satu bintang yang berjalan itu akan datang lagi dengan lebih banyak tanda. Bintang-bintang, dan bukan cuma satu bintang, akan berjatuhan dari angkasa. Usia bumi akan berakhir. Kehidupan akan selesai. Kitab-kitab telah menuliskannya. Juga tentang gempa yang kelak akan terjadi, berulang-ulang. Bukankah gempa makin sering terjadi di bumi ini?
[bangkit, mengamati satu per satu isi ruangan tersebut dan keluar]
BABAK II :
Mikha masuk, menyalakan lampu yang menerangi kanvas. dengan serius memandangi sebuah kanvas dengan lukisan yang belum selesai dilukis. Baru beberapa paduan warna dengan goresan-goresan yang tampak tidak bermakna. Kika dan Keke tidur pada sebuah meja, tertutup kain sehingga terlihat seperti patung.
WASTIKA :
[duduk sambil menyulam sesuatu]
Zefa…Zefa…Zefa….! Di mana kau?
[jengkel]
Zefa masuk dengan langkah perlahan sambil menarik sebuah rantai. Sekujur tubuhnya kusam dan kotor.
WASTIKA :
[duduk sambil menyulam sesuatu]
Zefa, lama-lama aku bosan dengan tingkah lakumu yang makin menjengkelkan itu. Hari-hariku menjadi sangat gersang. Kau hanya peduli pada dirimu sendiri. Lihat dirimu. Kau makin larut saja ke dalam hal-hal semu.
ZEFA :
Entah mengapa mimpi-mimpi itu terus datang. Hingga malam-malamku terus dipenuhi mimpi aneh.
WASTIKA :
Cukup, Zefa. Aku tidak peduli mimpi apa yang selalu datang padamu. Kau malahan tidak pernah lagi memberikan perhatian padaku.
ZEFA :
Tolong aku, Wastika.
WASTIKA :
Tolong apa?
ZEFA :
Rantai aku. Rantai aku, Wastika. Rantai aku.
WASTIKA :
Gila…kau telah gila. Kau telah gila, Zefa. Hiduplah kau dengan kegilaanmu itu. Aku tidak akan peduli.
[bangkit dan pergi]
Dia telah gila.
ZEFA :
[duduk dan merantai tubuhnya]
Dia…dia tidak akan pernah mengerti mengapa akhirnya kuputuskan untuk merantai tubuhku seperti ini. Dia tak pernah mengerti. Wastika yang malang. Telah panjang dan berliku jalan yang kulalui untuk mencarinya. Dia bukan Wastika. Dia adalah sebuah mimpi yang ingin kutemui. Entah ke mana dia. Entah ke mana lagi harus kutemukan dia. Sudah kutanya pada angin, ke mana kira-kira aku harus mencarinya. Angin menjawab tak tahu. Pada matahari sudah juga kutanyakan hal yang sama, dia diam, terbenam dan bersinar lagi, tapi tak menjawab apa-apa. Ke laut, ke semua, kutanyakan hal itu tapi tak ada yang mampu memberitahukan jawabannya. Kurantai tubuhku akhirnya, untuk menahan gejolak hati. Kusiksa tubuhku seperti ini, seperti jalan yang ditempuh kebanyakan orang bijak, menyiksa diri sendiri untuk mencapai keinginan dan tujuan spiritual. Aku ingin bertemu Dia. Sungguh, aku sangat ingin bertemu Dia.
MIKHA :
Dia? Siapa?
ZEFA :
Dia bukan Wastika.
MIKHA :
Aku tidak bertanya apakah dia itu Wastika atau bukan. Dia yang sementara kau bicarakan itu siapa? Dan untuk apa kau ingin menemuinya, sampai-sampai kau terlihat seperti orang gila seperti ini?
ZEFA :
Dia yang ditunggu sejak berabad-abad sebelumnya. Dia penunggang kuda putih, yang berjalan dalam angin, berjubah putih. Jika waktuNya telah tiba untuk datang menemui umat manusia, tanganNya menggenggam pedang yang berkilat-kilatan.
[diam sebentar]
MIKHA :
[mengerut, bingung]
Imajinasi yang hebat dari seorang penghayal.
ZEFA :
Aku senantiasa bertemu dengannya dalam mimpi. Mari, jumpai aku, katanya. Semalam dia kembali datang dalam mimpi. Pada malam berkabut di sebuah negeri yang tak kukenal, dia, anak manusia itu, keluar dari sebuah sungai. Lalu tiba-tiba langit terkoyak dengan dasyatnya, aku menjadi takut melihat apapun. Dari antara sela-sela jari, kulihat sesuatu turun dari langit. Aku makin gemetaran. Tak ingin lagi melihat apapun karena takut. Dalam mimpi itu, aku tersungkur ke tanah karena tubuhku jadi lemas dan ketakutan menyaksikan Anak Manusia itu tiba-tiba bercahaya.
MIKHA :
Manusia yang bercahaya ? Urusan mimpi saja bikin repot. Zefa, kau manusia yang paling aneh di jagad ini. Di jalanan sana banyak yang mengalami gangguan kejiwaan seperti kau. Mimpi dihasilkan oleh dunia bawah sadar kita; yang merupakan tempat menyimpanan atau memori dari kejadian-kejadian sehari-hari, angan-angan, obsesi-obsesi, dan lain-lain dari alam sadar kita. Angan-angan hari kemarin yang belum terwujud dan tentu saja sangat berlebihan akan menghasilkan penyimpangan jiwa. Itu sementara kau alami. Lihat dirimu. Bila penampilan manusia seperti caramu sekarang ini pasti semua orang yang melihat keanehan ini punya kesimpulan yang sama, kau gila.
ZEFA :
Kau tidak paham makna mimpi ini. Tapi bagi diriku, perasaan, dan harapanku sangat penting. Aku ingin membangun imanku dan spiritualitasku melalui pencarianku atas petunjuk yang diperoleh melalui mimpi ini. Aku ingin bertemu denganNya.
MIKHA :
Terus, apa hubungan makna mimpi, tujuan spiritual, dengan kegilaanmu itu? Jelaskan apa maksud rantai yang melilit tubuhmu itu?
ZEFA :
Agama samawi, agama-agama pagan, bahkan semua kepercayaan di dunia ini menggunakan pemahaman yang sama. Menyiksa diri demi untuk mencapai tujuan spiritual. Menahan lapar dan haus dengan berpuasa hakikatnya sama dengan rantai ini, hanya caranya yang berbeda. Kami sama-sama ingin berdialog dengan Tuhan. Dan rantai ini merupakan bagian dari imanku.
MIKHA :
Berdialog dengan Tuhan ? Zefa, kau makin gila saja. Kau pikir dirimu itu adalah nabi zaman dahulu yang bisa berdialog dengan Tuhan. Betul-betul kau telah gila.
Zefa diam, berjalan, memperhatikan sejenak sesuatu yang tertutup kain, lalu membukanya. Kika dan Keke, laki-laki dan perempuan itu, asyik tertidur pada sebuah meja.
MIKHA :
Jangan ganggu mereka.
Kika dan Keke terbangun, terkejut dan ketakutan.
MIKHA :
Aku sudah bilang, jangan ganggu mereka.
ZEFA :
Maaf, aku tidak tahu kalau sesuatu yang tertutup itu mereka berdua. aku pikir itu patung, karyamu terbaru. Atau juga barangkali adalah apa yang aku cari-cari. Tadi suaramu yang keras itu membangunkan mereka.
MIKHA :
Kaulah yang membangunkan mereka, bukan aku. Mereka seharusnya tetap tertidur sepanjang hari. Menikmati mimpi-mimpi terbaru hari ini. Kau malah mengusik tidur mereka. Mimpi-mimpi mereka akhirnya jadi lenyap. Mereka punya mimpi yang sama mustahilnya denganmu. Mereka berdua adalah model dari lukisanku yang baru saja dimulai. Mimpi mereka adalah menjadi terkenal, lebih dari lukisannya. Sekalipun model dari lukisan Monalisa karya maestro Davinci tidak lagi dibicarakan dari masa ke masa tetapi mereka ingin yang sebaliknya. Dan mereka sama denganmu, gila…!
ZEFA :
Maaf, sekali lagi maaf. Aku lebih baik pergi saja.
[ketakutan, dan keluar]
MIKHA :
Iya. Pergilah…! Kau manusia aneh dan gila. Enyahlah dari sini…!
[marah]
Tune masuk, bertabrakan dengan Zefa yang hendak pergi. Kemudian duduk dekat Mikha.
TUNE :
Kenapa dia?
MIKHA :
Orang gila…! Kau kan tahu bahwa manusia yang berpenampilan aneh hanyalah orang gila.
TUNE :
Dia itu Zefa kan? Kenapa dia? Apa dia sedang latihan akting, atau?
MIKHA :
Dia mendapat mimpi, lalu sibuk ingin bertemu dengan Tuhan.
KIKA :
Iya, Bos. Betul, Bos. Dia tidak ingin lagi jadi seniman, Bos. Karena yang ada di kepalanya hanya sebuah tujuan yang konyol, yaitu membangun iman dan tujuan spiritual.
KEKE :
Benar sekali, Bos. Padahal menekuni dunia seni seperti yang sementara aku jalani sekarang ini memiliki tujuan spiritual yang sama dengan jalan yang dia tempuh sekarang ini. Nyatanya dia orang yang sangat tidak berbakat jadi seniman.
KIKA :
Tepat sekali, Bos. Padahal untuk bisa membangun iman dan tujuan yang aneh itu dia seharusnya tetap menjadi seniman. Karena dunia senilah yang sebagai salah satu hal yang bisa memberikan dasar-dasar kepekaan spiritual. Dahulu kan para nabi itu adalah seniman juga.
TUNE :
Cukup! Kenapa tempat ini makin dipenuhi orang-orang aneh? Lama-lama orang banyak mengenal tempat yang aku bangun dengan susah payah ini sebagai tempatnya orang-orang gila, bukan tempatnya para seniman lagi.
[mengangguk, lau tersenyum]
Mikha, kau ingat dulu saat rambutmu panjangnya masih sepinggang?
MIKHA :
Ya. Kenapa?
TUNE :
Saat aku mengatakan bahwa kau gila karena rambutmu panjang, Sedangkan kau ini laki-laki. Lalu apa yang kau katakan waktu itu? Kau ingat?
MIKHA :
[menggeleng]
Tidak.
TUNE :
Kau bilang padaku bahwa yang berambut panjang di dunia hanya ada tiga golongan waras. Yang pertama adalah golongan petapa, kedua golongan mahasiswa, dan terakhir adalah golongan seniman. Katamu kalau bukan ketiganya berarti orang gila. Padahal waktu itu kau bukan ketiganya.
MIKHA :
[mendorong Tune]
Ah, kau hanya mengganggu saja.
KIKA :
Keke…Keke….Keke…!
KEKE :
Ada apa ?
KIKA :
Abaikan cerita mereka, sayang. Lebih baik kita membicarakan hal-hal yang lebih bermanfaat.
KEKE :
Seperti apa ?
KIKA :
Seperti membayangkan sesuatu yang nantinya akan kita capai saat kita telah menjadi orang terkenal.
KEKE :
Seperti membayangkangkan bagaimana jika potret wajah-wajah kita yang terpampang di dinding kota, apa kira-kira yang akan dikatakan banyak orang? Apa kata dunia?
KIKA :
Uhhhh…pasti dengan percaya diri kusampaikan secara terus terang bahwa aku jadi pusat perhatian dunia. Ke manapun aku berjalan, orang-orang berkamera mengejarku, memotret pose-pose terhebat dari gerak-gerakku. Lalu serbuan dari para penggemarku dengan spidol di tangan mereka seraya meminta tanda tanganku pada setiap punggung, pinggang, dan dada mereka. Penggemarku adalah gadis-gadis cantik yang tentu saja dari segi apapun juga mereka lebih cantik dari kau.
KEKE :
Mimpi…..itu mimpi….dan omong kosong. Karena hal itu cuma akan terjadi pada diriku.
[tersenyum membayangkan kejadian tersebut]
KIKA :
Heh…kau ini menghayalkan dirimu sendiri atau kita bersama?
KEKE :
Kau ?
KIKA :
Sendiri !
KEKE :
Aku juga, dong! Masakan enak di kamu tidak enak di aku. Lagian yang pantas mendapatkan hal itu kan aku bukan kamu.
[berdiri dan berlenggok seperti peragawati]
Kau lihat kan letak kepantasannya, temanku? Aku ini perempuan dengan seribu bakat yang akan dilirik dan siap diorbitkan sebagai artis multi talenta. Poster-posterku akan memenuhi sudut-sudut jalan Hollywood sebagai artis pendatang baru yang paling berbakat pada abad ini.
KIKA :
Tumpul….! Goblok…! Matamu sudah buta apa? Paling berbakat abad ini…??!
[mengejek]
KEKE :
Oh, temanku yang pikirannya sempit, seharusnya kau bersyukur bila hal ini menjadi kenyataan, karena setiap kali aku pulang kampung pasti kau yang akan aku cari sebagai seorang teman dari selebriti terkenal. Bukankah itu sebuah kehormatan? Bagaimana?
KIKA :
Benar juga…luar biasa….cahaya cemerlang telah terbit dan melingkar di kepalamu seperti gambaran dari para Santo. Tetapi jika kau mengingkari hal ini, maka aku akan mencampakkan tubuhmu yang sangat tidak molek itu di antara duri-duri pohon salak. Kulempari tubuhmu dengan telur busuk. Lalu poster-postermu kurobek-robek dan kubakar….
Terdengar suara orang yang mengerang dan minta tolong.
TUNE :
[berteriak]
Diam…! Dengar…ada suara orang yang minta tolong.
KIKA dan KEKE :
[terkejut]
Bos…??? Ada apa, Bos?
Suara orang yang mengerang dan minta tolong makin dekat.
TUNE :
[membentak]
Diam…! Aku bilang, diam.
Zora masuk menarik Zefa. Semua orang di dalam ruangan ketakutan.
ZORA :
[terengah-engah]
Di mana Dia ? Di mana Dia ? Kenapa Dia tidak ada di sini ? Ayo, tunjukkan padaku.
ZEFA :
[merintih kesakitan]
Benar…Dia akan datang…sedikit lagi, Dia akan datang…! Tolong lepaskan aku…!
TUNE :
Ada apa? Kenapa dia?
ZORA :
Mana mungkin kalian tidak tahu?
KEKE :
Mana kami tahu…? Iya kan, Kika…?
KIKA :
[mengangguk]
He’….eee….!
ZORA :
Dia mengaku kepada banyak orang bahwa kutu busuk ini telah bertemu Tuhan. Dia menakut-nakuti anak-anak kecil dan mengatakan bahwa Tuhan akan datang. Juga di jalan-jalan raya; di tempat-tempat umum; di mana saja; dia berteriak-teriak seperti orang gila dan mengatakan bahwa Tuhan akan segera datang, bersiaplah sebelum hari mulai malam.
ZEFA :
[kesakitan]
Sungguh. Ini benar. Dia akan datang. Sedikit lagi, dia akan datang…! Bukalah pintu hatimu, bila Dia datang mengetuk.
ZORA :
Kau pembohong!
[menendang Zefa]
MIKHA :
Dia mati…kau telah membunuhnya.
KIKA :
[sedih]
Kasihan dia…dia orang yang tidak bersalah.
Orang ketakutan, memperhatikan tubuh Zefa, sejenak kemudian diangkat dan dibaringkan di meja. Wastika masuk. Orang-orang makin ketakutan.
WASTIKA :
Siapa yang membunuhnya? Zefa…Zefaku…! Siapa yang membunuhnya? Siapa yang telah membunuhnya?
Semua orang menunjuk ke arah Zora. Zora ketakutan.
WASTIKA :
Kau bajingan…! Kau pikir kau siapa ? Kau tidak punya hak apa-apa untuk mengambil nyawanya.
[geram, lalu menjambak Zora. Kemudian memeluk tubuh Zefa sambil menangis]
Tubuh Zefa berguncang. Zero masuk memegang lilin. Orang-orang semakin ketakutan.
ZERO :
Aku bukanlah orang yang kalian tunggu. Bukan siapa-siapa. Bukan sebuah jejak apapun yang berusaha ditinggalkan oleh masa lampau. Aku bukan Dia. Aku hanyalah orang biasa, yang berusaha mengerti tanda-tanda alam. Zefa telah mati sahid karena imannya yang menyiarkan tentang kebenaran bahwa dia akan segera datang. Dia akan datang di tengah-tengah kita seperti pencuri. Tak ada seorangpun yang tahu waktunya. Temuilah Dia. Setiap orang harus menemui sebelum waktu kedatangannya.
TUNE :
[ketakutan]
Hei, biasa saja…bicara biasa saja. Tidak perlu kau mendramatisir sesuatu menjadi terkesan sangat rumit dengan makna yang makin kabur pula. Bicara langsung pada intinya. Jangan lagi merekayasa makna. Ini ada apa? Siapa?
Kalau ada yang mau datang mencuri, kita lapor ke polisi saja kalau begitu.
MIKHA :
Ssssstttt…..diam, Bos…….! Kau tidak tahu siapa yang sedang dibicarakan.
ZERO :
Pengantin itu akan segera datang…! Waktunya sedikit lagi….tidak lama lagi. Nyalakan lilinnya agar saat Dia datang, kita sedang memegang lilin.
[menyalakan dan membagi lilin satu per satu kepada semua orang]
TUNE :
Lalu apa yang harus kami perbuat?
ZERO :
Pergilah…peganglah iman dan temukanlah jalan itu…..ya, seharusnya kita menemukan jalan itu agar kita bisa berjumpa dengannya. Dia tengah mencari dan menunggu kita. Bergegaslah…!
Orang-orang pergi, tertinggal Zero dan tubuh Zefa yang tergeletak di atas meja.
ZERO :
[memperhatikan lukisan Mikha, mengambilnya, dan mendekati Zefa. Kemudian duduk di kursi]
Zefa hanya mengatakan kebenaran yang dia terima melalui mimpi. Kebenaran-kebenaran yang sama telah dilakukan banyak nabi-nabi dan rasul-rasul. Banyak dari antara para penyiar kebenaran itu mati dalam iman mereka.
[diam sejenak]
Kalian kelak akan mengerti. Pada kaki langit yang terlukis dengan warna yang mempesona, pada sebuah purnama yang indah, buku itu dibuka, dan nama kita tertulis di dalamnya.
ijin di pentaskan
BalasHapusMohon Ijin di Pentaskan, Gb
BalasHapus