Kicau Murai Pagi Hari
Di sebuah tempat. Beberapa orang di sebuah taman.
Orang I : Ada tujuh bentangan hari yang diberikan kepada manusia oleh Al Khalik – yang menjadi citra dari penciptaan jagad – agar bisa bertemu dengan kesempatan untuk menemui Cahaya Keagungan.
Orang II : Ada seribu jalan yang ditempuh menuju ke sana, dan banyak yang justru tak berjumpa dengan Sang Cahaya
Orang I : Dia datang ke jantung bumi di saat orang-orang memejamkan mata, membuaikan diri ke dalam kenyamanan. Hanya sedikit yang terjaga dengan pelita tergenggam erat, tetap menanti dengan jantung berdegub. Kitab-kitab suci bahkan telah mengisyaratkan kedatanganNya sejak berabad-abad sebelumnya.
Orang II : Ia, Cahaya itu, ada. Melintasi lekukan-lekukan waktu, merunuti jengkal-jengkal peristiwa. Ia ada. Menyerahkan diri, dengan rela, dan terbantai. Cahaya Yang Maha Besar itu lalu pecah berhamburan, bertaburan. Seumpama roti yang harus dipecah, agar semua orang mendapatkannya, menelan dan melekatkannya di jiwa.
Orang I, II, III, & IV : (duduk melingkari Miryam yang memikul sebuah bola)
Tak…tik…tak…tik…tak…tik…tak…tik…tak…tik…tak…tik…tak…tik…!
Marta : Kisah manusia seumpama weker yang pekak, mengingatkan dan menyimpulkan kehidupan untuk terus maju mewarnai abad, masa, tahun, bulan, minggu, hari, jam, menit, lalu detik.
Aku senantiasa menatap dari jendela kamarku ada senja di pucuk-pucuk cemara, ada juga butir-butir embun pada sejumput harapan di pagi hari yang meronakan kisah, yang masih panjang, belum berujung, belum tersingkap.
Kasim…! Kasim…! Kasim…!
Ceritakan padaku mengapa harus ada yang luka karena cinta yang tulus ?
Kasim : (masuk tergopoh-gopoh)
Nona…Nona Marta…bukankah kekuatan cinta terletak pada apinya ?
Marta : Benar bahwa aku terbakar karena cinta, tetapi aku lalu jadi debu yang ditaburkan orang, bermakna salah.
Kasim : Apa yang hangus, jadi debu, jangan disesali, Nona. Bukankah konsekuensi dari terbakar oleh api cinta menyangkut hal-hal itu juga, Nona Marta yang baik ?
Lupakah tentang aku, yang mau atau tidak mau, harus merelakan hak-hak diriku terbantai tanpa berkesempatan menentukan pilihan ? Sejarah bahkan kitab suci menuliskan mengenai sebutan golongan kami adalah kaum sida-sida, aku laki-laki normal sebelumnya.
Marta : Aku tidak menanyakan hal-hal itu, Kasim.
(melangkah menjauh)
Orang III : Apa yang ingin dititip senja jika bulan tak lagi mau berbagi cerita tentang keindahan cahaya keemasannya kala gelap membungkus sebagian jagad. Atau barangkali cakrawala, sebuah ruang yang maha luas, tak ingin lagi memberi pelajaran rutin kepada segenap makhluk bahwa di tingginya langit masih ada langit.
Orang IV : Lalu tentang gemulai daun, basah dalam kabut atau tentang kicau burung-burung Murai yang sering merindukan pucuk-pucuk bunga, ia yang senantiasa menziarahi gairah hidup untuk maju.
Aku kehilangan keceriaan karena pagi tidak menghadirkan kicau-kicau yang biasa menyapa hari-hariku.
Orang I : Tentang matahari ? Tahukah kau tentang matahari ?
Orang III : Dalam kajian ilmiah merupakan sebuah bola gas panas raksasa terletak 150 juta kilometer dari bumi. Suhu di pusatnya melebihi 16 juta derajat celcius. Sebuah energi yang maha dasyat.
Orang IV : Ia energi panas dan cahaya yang membuat pendaran-pendaran sinar melalui proses fusi nuklir. Berusia kira-kira 5.000 juta tahun. Lalu dalam usia kira-kira 5.000 juta tahun itu matahari akan menjadi sangat terang sehingga tidak ada apapun yang dapat hidup di permukaan bumi ini.
Orang I : Inilah petaka kiamat…!
Orang II : Lalu bagaimana tentang Tuhan ?
Orang I : Inilah petaka kiamat…!
Orang II : Bagaimana tentang Tuhan ?
Orang III : Saat penantian yang membuat kegentaran maha menakutkan.
Orang II : Lalu bagaimana tentang Tuhan ?
Orang I : Inilah petaka kiamat…!
Orang II : Lalu bagaimana tentang Tuhan ?
Orang IV : Waktu malaikat datang berselubungkan awan dan pelangi, memeteraikan tujuh gemuruh guruh yang bersahut sahutan.
Orang I : Inilah petaka kiamat…!
Kala malaikat mengancungkan tangan ke langit dan berkata “Tidak ada penundaan lagi…!”
Inilah petaka kiamat…!
Orang III : Bila waktu itu kian pasti
Orang II : (marah)
Lalu bagaimana tentang Tuhan ? Katakan…!
Orang IV : Mengapa kita harus berada di kubangan ?
Miryam : Tubuh yang terbantai pada salib dina.
Anak domba yang bercucuran darah.
Jesua…
Jesua…
Jesua…
(bernyanyi lagi dengan kesenduan dan kesedihan yang kian menggarang)
Jesua…
Jesua…
Jesua…
Beban ini, mestinya aku tidak memikulnya.
Orang I, II, III, & IV : Maka hancurkan bebannya !
Miryam : (menghancurkan beban yang dipikulnya)
Jesua : (masuk dengan lentera dan cawan di tangannya)
Marta…! Apa yang meski jadi sesal demi hikmah kebenaran ?
Datanglah padaKU yang haus dan lapar.
Minumlah darahKu…
Makanlah tubuhKu…
Maka kau akan bertemu AKU…!
(semua orang mendekati Jesua, meminum dan memakan apa yang bisa dimakan, hingga Jesua habis dalam lapar dan dahaga mereka. Sesuai itu, mereka lalu mengambil lentera dan pergi ke entah dengan perasaan bahagia sambil menyeret sisa lahapan; Jesua.)
Orang I : Ada tujuh bentangan hari yang diberikan kepada manusia oleh Al Khalik – yang menjadi citra dari penciptaan jagad – agar bisa bertemu dengan kesempatan untuk menemui Cahaya Keagungan.
Orang II : Ada seribu jalan yang ditempuh menuju ke sana, dan banyak yang justru tak berjumpa dengan Sang Cahaya
Orang I : Dia datang ke jantung bumi di saat orang-orang memejamkan mata, membuaikan diri ke dalam kenyamanan. Hanya sedikit yang terjaga dengan pelita tergenggam erat, tetap menanti dengan jantung berdegub. Kitab-kitab suci bahkan telah mengisyaratkan kedatanganNya sejak berabad-abad sebelumnya.
Orang II : Ia, Cahaya itu, ada. Melintasi lekukan-lekukan waktu, merunuti jengkal-jengkal peristiwa. Ia ada. Menyerahkan diri, dengan rela, dan terbantai. Cahaya Yang Maha Besar itu lalu pecah berhamburan, bertaburan. Seumpama roti yang harus dipecah, agar semua orang mendapatkannya, menelan dan melekatkannya di jiwa.
Orang I, II, III, & IV : (duduk melingkari Miryam yang memikul sebuah bola)
Tak…tik…tak…tik…tak…tik…tak…tik…tak…tik…tak…tik…tak…tik…!
Marta : Kisah manusia seumpama weker yang pekak, mengingatkan dan menyimpulkan kehidupan untuk terus maju mewarnai abad, masa, tahun, bulan, minggu, hari, jam, menit, lalu detik.
Aku senantiasa menatap dari jendela kamarku ada senja di pucuk-pucuk cemara, ada juga butir-butir embun pada sejumput harapan di pagi hari yang meronakan kisah, yang masih panjang, belum berujung, belum tersingkap.
Kasim…! Kasim…! Kasim…!
Ceritakan padaku mengapa harus ada yang luka karena cinta yang tulus ?
Kasim : (masuk tergopoh-gopoh)
Nona…Nona Marta…bukankah kekuatan cinta terletak pada apinya ?
Marta : Benar bahwa aku terbakar karena cinta, tetapi aku lalu jadi debu yang ditaburkan orang, bermakna salah.
Kasim : Apa yang hangus, jadi debu, jangan disesali, Nona. Bukankah konsekuensi dari terbakar oleh api cinta menyangkut hal-hal itu juga, Nona Marta yang baik ?
Lupakah tentang aku, yang mau atau tidak mau, harus merelakan hak-hak diriku terbantai tanpa berkesempatan menentukan pilihan ? Sejarah bahkan kitab suci menuliskan mengenai sebutan golongan kami adalah kaum sida-sida, aku laki-laki normal sebelumnya.
Marta : Aku tidak menanyakan hal-hal itu, Kasim.
(melangkah menjauh)
Orang III : Apa yang ingin dititip senja jika bulan tak lagi mau berbagi cerita tentang keindahan cahaya keemasannya kala gelap membungkus sebagian jagad. Atau barangkali cakrawala, sebuah ruang yang maha luas, tak ingin lagi memberi pelajaran rutin kepada segenap makhluk bahwa di tingginya langit masih ada langit.
Orang IV : Lalu tentang gemulai daun, basah dalam kabut atau tentang kicau burung-burung Murai yang sering merindukan pucuk-pucuk bunga, ia yang senantiasa menziarahi gairah hidup untuk maju.
Aku kehilangan keceriaan karena pagi tidak menghadirkan kicau-kicau yang biasa menyapa hari-hariku.
Orang I : Tentang matahari ? Tahukah kau tentang matahari ?
Orang III : Dalam kajian ilmiah merupakan sebuah bola gas panas raksasa terletak 150 juta kilometer dari bumi. Suhu di pusatnya melebihi 16 juta derajat celcius. Sebuah energi yang maha dasyat.
Orang IV : Ia energi panas dan cahaya yang membuat pendaran-pendaran sinar melalui proses fusi nuklir. Berusia kira-kira 5.000 juta tahun. Lalu dalam usia kira-kira 5.000 juta tahun itu matahari akan menjadi sangat terang sehingga tidak ada apapun yang dapat hidup di permukaan bumi ini.
Orang I : Inilah petaka kiamat…!
Orang II : Lalu bagaimana tentang Tuhan ?
Orang I : Inilah petaka kiamat…!
Orang II : Bagaimana tentang Tuhan ?
Orang III : Saat penantian yang membuat kegentaran maha menakutkan.
Orang II : Lalu bagaimana tentang Tuhan ?
Orang I : Inilah petaka kiamat…!
Orang II : Lalu bagaimana tentang Tuhan ?
Orang IV : Waktu malaikat datang berselubungkan awan dan pelangi, memeteraikan tujuh gemuruh guruh yang bersahut sahutan.
Orang I : Inilah petaka kiamat…!
Kala malaikat mengancungkan tangan ke langit dan berkata “Tidak ada penundaan lagi…!”
Inilah petaka kiamat…!
Orang III : Bila waktu itu kian pasti
Orang II : (marah)
Lalu bagaimana tentang Tuhan ? Katakan…!
Orang IV : Mengapa kita harus berada di kubangan ?
Miryam : Tubuh yang terbantai pada salib dina.
Anak domba yang bercucuran darah.
Jesua…
Jesua…
Jesua…
(bernyanyi lagi dengan kesenduan dan kesedihan yang kian menggarang)
Jesua…
Jesua…
Jesua…
Beban ini, mestinya aku tidak memikulnya.
Orang I, II, III, & IV : Maka hancurkan bebannya !
Miryam : (menghancurkan beban yang dipikulnya)
Jesua : (masuk dengan lentera dan cawan di tangannya)
Marta…! Apa yang meski jadi sesal demi hikmah kebenaran ?
Datanglah padaKU yang haus dan lapar.
Minumlah darahKu…
Makanlah tubuhKu…
Maka kau akan bertemu AKU…!
(semua orang mendekati Jesua, meminum dan memakan apa yang bisa dimakan, hingga Jesua habis dalam lapar dan dahaga mereka. Sesuai itu, mereka lalu mengambil lentera dan pergi ke entah dengan perasaan bahagia sambil menyeret sisa lahapan; Jesua.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar